Back

ETIKA BERMEDIA SOSIAL PERSPEKTIF AL-QURAN

Oleh : Ustadzah Dr. Hj. Ade Naelul Huda, MA., Ph.D
[email protected]
(Guru Bidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir di Pondok Pesantren Attaqwa Putri)

Media sosial saat ini menjadi bagian hidup tidak terpisahkan terutama pada generasi muda. Di media sosial setiap orang dapat melihat, menulis dan berinteraksi tentang apapun dan siapapun dengan cepat dan tanpa terbatas. Teknologi internet telah mengubah pola tersebarnya informasi dari yang sebelumnya bersifat individu ke individu sehingga menjadi individu pada kelompok orang. Media sosial saat ini telah dianggap sebagai bagian dari sistem relasi, koneksi dan sarana berkomunikasi yang efektif.  Beberapa fungsi media sosial diantaranya, adalah: sarana menyampaikan dan menerima informasi, sarana dokumentasi, sarana belajar dan berbisnis bahkan bisa digunakan untuk branding personal atau menunjukkan citra diri yang dikehendaki atau sering juga disebut plexing.

Sebagai bagian dari masyarakat, umat Islam tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan zaman, termasuk penggunaan media sosial, menganggap semua media sosial haram bagi penulis pribadi terasa sangat berlebihan, sebab media sosial pada dasarnya tergantung dari penggunanya. Media sosial dapat digunakan untuk hal-hal positif seperti menjalin silaturahim atau bahkan sebagai media dakwah yang pengaruhnya cukup signifikan terutama untuk menjangkau generasi muda yang setiap hari berkutat di media sosial. Itu sebabnya sekarang ini banyak organisasi dakwah yang menggunakan media sosial sebagai sarana dakwah.

Untuk dapat memanfaatkan potensi yang begitu besar tersebut tentu dibutuhkan batasan yang jelas dalam penggunaan media sosial agar tidak melanggar nilai nilai islami terutama saat mendidik anak, etika tersebut diantaranya adalah:

Pertama, meluruskan niat. Dalam Islam, niat merupakan hal pokok sehingga segala perbuatan baik dapat bernilai ibadah dengan niat yang baik. Rasulullah saw bersabda: 

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Artinya: “Sesungguhnya segala perbuatan bergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya. Siapa saja yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-nya, maka hijrahnya itu dinilai karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan dunia atau karena perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu sampai pada apa yang diniatkannya itu.” (H.R. Bukhari).[1]

Kedua, berusaha menyebarkan kebaikan dan mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebutkan bahwa kaum Muslim adalah umat terbaik (QS. Ali Imran [3]: 110), salah satu penyebab kaum muslim dijadikan umat terbaik adalah karena setiap muslim memiliki kewajiban menebar kebaikan dan mencegah keburukan atau yang lebih dikenal dengan amar makruf nahi munkar.

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Artinya:  “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran [3]: 110).

Dalam melakukan amar ma’rf nahi munkar di media sosial bukan berarti kita menjadi polisi pada tiap postingan orang lain dengan memberikan komentar pedas pada postingan yang kurang sesuai, karena hal itu merupakan cara ber-amar makruf nahi munkar yang kurang sesuai, menegur orang lain hendaknya tidak dimuka umum atau di media sosial yang bisa dibaca orang lain yang tidak terkait. Menegur hendaknya dengan cara yang baik sebagaimana anjuran Al-Quran dalam berdakwah (menegur dan menasihati) hendaklah melalui jalan hikmah atau nasihat yang baik.

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِين

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS an-Nahl (16): 125).

Ketiga, berprasangka baik namun tetap waspada.  Salah satu etika pergaulan dan berkomunikasi di media sosial adalah berprasangka baik dalam menghadapi segala sesuatu, tidak ceroboh, dan waspada dari penipuan.  Allah swt berfirman.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesunguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Lalu janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu mengunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?  Maka tentulah kamu merasa  jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 12)

Selain itu, seseorang juga perlu kewaspadaan dalam mengumbar informasi yang sangat bersifat pribadi, semisal informasi detail mengenai kontak pribadi, mengumbar masalah pribadi, mempercayai akun orang lain tanpa mengecek keasliannya terlebih dahulu, lebih lebih saat ini banyak sekali akun palsu bertebaran di media sosial. Kehati-hatian ini sejalan dengan tuntunan Al Quran.

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِي

Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 195)

Keempat, tidak menghina dan mengumbar kebencian. Tidak ada hal baik yang dapat diperoleh dengan jalan kekerasan, penghinaan atau ujaran kebencian, sekalipun hal tersebut dilakukan atas nama agama. Allah swt melarang kaum muslim untuk menghina agama, kepercayaan, budaya maupun adat istiadat orang lain sebab perbuatan itu dapat membuat orang lain membenci dan bersikap antipati kepada kita.

وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Arti: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. Al An’am: 108)

Selain melarang penghinaan terhadap simbol agama orang lain, Allah swt juga melarang kita menghina individu atau kelompok lain, karena bisa jadi mereka yang dihina lebih baik. Begitupun tidak mem-bulli (menyakiti dan merendahkan) seseorang di media sosial, atau memberikan gelar yang mengandung penghinaan dan ejekan juga salah satu tuntunan Al-Quran.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al Hujurat[49]:11)

Dalam bermedia sosial penting untuk memelihara hati agar tetap dingin sehingga tulisan yang disampaikan atau kata kata yang diberikan melalui media sosial bisa tetap tenang. Selain itu sebaiknya dipikir masak-masak sebelum me-retweet, meng-share, atau berkomentar mengenai sesuatu yang berpotensi menjadi polemik dan menebar kebencian. Karena jejak digital tidak dapat dihapus meskipun kita telah menghapus postingan atau komentar kita, apalagi bila sudah terlanjur menyebar dan viral. Yang penting untuk diingat bahwa ujaran kebencian dan penghinaan bisa dilaporkan kepada pihak berwajib dan masuk dalam undang-undang IT (Informasi dan Teknologi) yang pelakunya dapat dituntut pidana.

Kelima, menghindari hoax dan mengecek kebenaran berita. Sebuah berita atau informasi apalagi bila datang di media sosial hendaknya di teliti kebenarannya, saat kita ragu dengan berita tersebut maka bukanlah adab seorang muslim bila tetap menyebarkannya. Apalagi bila hal itu dilakukan karena dilandasi perasaan tidak suka dan kebencian. Membenci seseorang tidak lantas membolehkan kita untuk mendzoliminya.  Terkait dengan kebenaran suatu berita Allah swt berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 6)

Keenam, menggunakan kalimat yang santun dan meninggalkan perdebatan. Di dalam Islam suatu perdebatan dilarang dan sangat dianjurkan untuk dihindari. Namun, jika pun harus dilakukan maka harus dengan mentaati etika berdebat. Salah satu etika berdebat dalam Islam adalah penggunaan argumentasi yang kuat ketika berdebat, dan bersikap santun.

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Artinya  Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl [16]:125

Ketujuh, Memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Seringkali penguna media sosial menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial sehingga hidupnya menjadi tidak produktif. Dalam Al Quran Allah swt juga memperingatkan tentang pentingnya waktu

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

Artinya: Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al Ashr [103]:1-3)

Kedelapan, tidak memata matai orang lain (stalking). Stalking adalah mengecek status orang lain, kegiatan orang lain dengan maksud tidak baik. Melalui media sosial, kita bisa mengetahui kegiatan orang lain dengan lebih mudah tanpa diketahui. Allah swt berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Arti: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.(QS. Al Hujurat [49]: 12)

Terkait larangan kegiatan stalking ini dapat dianalogikan dengan pesan Rasulullah SAW kepada para sahabat yang sedang duduk-duduk di pinggir jalan. Beliau mengatakan: 

إِيَّاكُمْ وَالجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ»، فَقَالُوا: مَا لَنَا بُدٌّ، إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا، قَالَ: «فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا المَجَالِسَ، فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا»، قَالُوا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ؟ قَالَ: «غَضُّ البَصَرِ، وَكَفُّ الأَذَى، وَرَدُّ السَّلاَمِ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ، وَنَهْيٌ عَنِ المُنْكَرِ
Artinya: “Waspadalah kalian terhadap duduk-duduk di pinggir jalan. Para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, tidaklah kami duduk kecuali hanya sekedar berbincang-bincang.‘ Maka Rasulullah SAW mengatakan: ‘Apabila kalian tetap ingin duduk-duduk di jalan, maka berilah jalan itu haknya.’ Para sahabat bertanya kembali: ‘Apa haknya wahai Rasulullah?’ Rasululah SAW menjawab: ‘Tundukkan pandangan, menjawab salam, dan amar makruf nahi mungkar.’” (H.R. Bukhari)[2]

Kesembilan, tidak boleh mempertontonkan hal-hal yang berkaitan dengan pornografi, pornoaksi dan tidak mempromosikan hal-hal yang diharamkan agama.  Al-Quran melarang segala hal yang terkait pornografi dan menggolongkannya dalam kategori perbuatan kotor dan keji (fahisyah), perbuatan memalukan serta mengerikan (munkar) dan kesalahan serta ketidak adilan (al baghyu). Dalam Al Quran Allah swt berfirman

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Artinya: sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (QS. An Nahl [16] :90)


[1] HR. Bukhari, 1/6. Nomor hadis: 1

[2] HR Bukhari, Shoheh Bukhari, 3/132, nomor:2465

Leave A Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *